Cerita Dalam Kereta

 Kereta Dhoho sore itu memuat para pekerja yang telah memeras peluh dan sabarnya dari Surabaya. Perasaan lelah tentu saja dirasakan oleh mereka tak terkecuali seorang bapak yang duduk di bangku sebelahku. Karena si bapak tersebut sedang tidur sedangkan bangku ku berada di sebelah kanan, maka aku memutuskan untuk duduk di bangku seberang yang masih kosong. Tak lama kemudian si bapak terbangun dan aku izin pada beliau untuk masuk dan duduk di samping kanan beliau. Sepuluh menit perjalanan, si bapak memejamkan mata seraya mendengarkan pembicaraan teman seperjuangannya. Kala itu, teman beliau sedang membuka sekotak nasi lodho yang tak pelak membuat satu gerbong turut mencium dan merasakan betapa lezatnya makanan tersebut. Bapak yang membuka kotak nasi tersebut kemudian berbicara “Heumm, enak tho ambune segoku. Iki sego olehku maeng sing durung tak pangan.” Lantas dijawab oleh temannya yang lain “Iyo, nggarai kancane melu luwe mergo mambu segomu” yang disahuti tawa yang lain.

Hingga tiba di stasiun krian, kereta yang harusnya berangkat 3 menit kemudian harus menunda kembali jadwal keberangkatannya selama 15 menit. Si bapak yang duduk di bangku sampingku pun berkata “sepur e kedisikan sepur ngarep e, dadi kudu mandek suwi”. Penumpang di depanku pun menyahut dan berbincang singkat dengan si bapak. Dalam diam aku mendengarkan seluruh percakapan mereka dan penumpang lain yang silih berganti bersahut-sahutan membicarakan topik seputar rutinitas harian mereka. Sebuah celetukan kalimat terdengar di telingaku “delok o cah iki (sembari menunjukkan handphone) urip e penak, cah e ayu, sugih pisan. Sopo sing ora gelem mbe cah iki. Mestine cah iki oleh pasangan sing sepadan”. Dari percakapan tersebut, aku lantas tersadar semakin berkembangnya teknologi, semakin besar pula kesenjangan yang terlihat. Orang lain berlomba-lomba memamerkan kehidupan dan harta mereka sedangkan di sisi lain yang kadang kita elak adalah bagaimana orang kecil yang ada di sekitar kita mencoba untuk survive dengan kehidupan yang dijalani. 

Dengan bangganya kita yang masih muda memamerkan harta dan kehidupan yang nampak sempurna, namun kita juga lupa jika masih banyak yang berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan segala keterbatasan yang dimiliki. Membahagiakan istri dan anak menjadi hal terbesar yang diinginkan oleh bapak-bapak tersebut. Kebahagiaan keluarga yang berusaha dicapainya. Harusnya ini menjadi pukulan bagi kita, di saat kita bisa hidup dengan nyaman mereka harus banting tulang. Dan juga kondisi ini menjadi sebuah tantangan bagi kita generasi muda bangsa untuk menciptakan lapangan kerja baru untuk mereka serta membatasi diri untuk tidak dengan mudah menunjukkan apa yang kita miliki kepada khalayak umum di media sosial. Hal yang ku ingat dari percakapan si bapak adalah kalimat “sepur e kedisikan sepur ngarep e, dadi kudu mandek suwi”. Kalimat tersebut ku artikan sebagai “Kadang kala dalam hidup kita merasakan apa yang kita inginkan ternyata orang lain capai terlebih dahulu. Sedangkan kita hanya bisa bersabar dan menunggu sembari berusaha untuk menggapai hal tersebut. Kita juga tidak bisa menjadikan pelannya usaha yang kita kerahkan untuk mendapatkannya sebagai suatu kegagalan. Melainkan suatu hal yang harus kita hargai dan kenang momen tersebut untuk mengukir senyuman di masa akan datang”.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

GALI IDE USAHAMU

PRODUKSI DAN PROYEKSI KEUANGAN

Content Marketing